Konsep Akhlak Ahlul Quran Perspektif Syaikh Imam Al-Ajurri Al-Baghdadi Dalam Kitab Akhlaq Ahlul Qur’an

1.  Analisis Karakteristik Akhlak Ahlul Quran Perspektif Imam Al-Ajurri

Berdasarkan kajian mendalam terhadap konsep akhlak Ahlul Quran yang dirumuskan oleh Imam Al-Ajurri dalam kitab “Akhlaq Ahlul Qur’an”, peneliti menemukan bahwa karakteristik akhlak yang dikemukakan oleh beliau dapat dikategorikan ke dalam empat dimensi utama yang saling terkait dan membentuk kesatuan integral dalam pembentukan kepribadian seorang Ahlul Quran. Keempat dimensi tersebut meliputi dimensi spiritual, dimensi sosial, dimensi personal, dan dimensi intelektual.

a. Dimensi Spiritual (Hubungan dengan Allah)

Dimensi spiritual merupakan fondasi utama dalam konsep akhlak Ahlul Quran menurut Imam Al-Ajurri. Dalam dimensi ini, terdapat beberapa karakteristik fundamental yang menjadi ciri khas seorang yang benar-benar mengamalkan Al-Qur’an.

Dimensi spiritual merupakan fondasi utama dalam konsep akhlak Ahlul Quran menurut Imam Al-Ajurri. Dimensi ini mencakup seluruh aspek hubungan vertikal seorang hamba dengan Allah SWT, yang menjadi dasar bagi seluruh aktivitas dan perilaku dalam kehidupan.

1) Ketakwaan dan Wara’ (Menjaga Halal-Haram dalam Konsumsi & Penghidupan)

Karakteristik pertama yang sangat ditekankan adalah ketakwaan yang dimanifestasikan melalui sikap wara’ dalam kehidupan sehari-hari. Imam Al-Ajurri menggambarkan seorang Ahlul Quran sebagai sosok yang “senantiasa bertakwa kepada Allah saat sendirian ataupun di tengah keramaian, dengan bersikap wara’ dalam hal makanan, minuman, pakaian, dan penghasilannya.” Konsep wara’ di sini tidak hanya sebatas menghindari yang haram, tetapi juga kehati-hatian dalam mengonsumsi yang syubhat.

Dalam konteks penghidupan, Al-Ajurri menekankan prinsip yang sangat fundamental: “إِنْ كَسَبَ النَّاسُ مِنَ الدُّنْيَا الْكَثِيرَ بِلَا فِقْهِ وَلَا بَصِيْرَةٍ، كَسَبَ هُوَ الْقَلِيلَ بِفِقْهِ وَعِلْمٍ” (Jika kebanyakan orang mencari penghidupan dunia yang berlimpah tanpa peduli hukum fikih dan bashirah, maka dia mencari sedikit penghidupan dunia tetapi diiringi dengan memahami hukum fikih dan ilmu yang benar). Prinsip ini menunjukkan bahwa kualitas spiritual dalam mencari rezeki lebih diutamakan daripada kuantitas materi yang diperoleh.

2) Orientasi Keridhaan Allah dalam Segala Tindakan

Dimensi spiritual yang kedua adalah orientasi keridhaan Allah dalam setiap aktivitas kehidupan. Al-Ajurri menggambarkan seorang Ahlul Quran sebagai sosok yang memiliki “perhatian terhadap hal-hal yang mendatangkan keridhaan Allah.” Orientasi ini bukan hanya dalam ibadah mahdhah, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam cara berinteraksi dengan orang lain dan mengelola emosi.

Karakteristik ini terlihat jelas dalam konteks pengelolaan amarah, di mana Al-Ajurri menyebutkan: “يَكْظِمُ غَيْظَهُ لِيُرْضِيَ رَبَّهُ وَيَغِيظَ عَدُوَّهُ” (Dia menahan amarahnya sehingga membuat Rabbnya ridha dan musuhnya menjadi bertambah dongkol). Ungkapan ini menunjukkan bagaimana pengendalian emosi tidak hanya memiliki nilai sosial, tetapi juga dimensi spiritual yang mendalam.

3) Muhasabah dan Perbaikan Diri Berkelanjutan

Karakteristik ketiga adalah komitmen terhadap muhasabah (introspeksi diri) dan perbaikan berkelanjutan. Al-Ajurri menggambarkan seorang Ahlul Quran sebagai sosok yang “merasa risau dan berazam untuk memperbaiki apa saja yang rusak dari urusannya.” Sikap ini menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya evaluasi diri secara terus-menerus.

Dalam konteks yang lebih spesifik, Al-Ajurri menyebutkan pertanyaan reflektif yang seharusnya menjadi obsesi spiritual seorang Ahlul Quran: “مَتَى أُحَاسِبُ نَفْسِي؟ مَتَى أَتَزَوَّدُ لِيَوْمٍ مَعَادِي؟” (Kapan aku akan bermuhasabah atas diriku sendiri? Kapan aku akan menyiapkan bekal untuk Hari Kembali?). Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan bahwa muhasabah bukan hanya aktivitas sesaat, tetapi merupakan orientasi hidup yang berkelanjutan.

4) Mencari Kemuliaan Hanya dari Allah, Anti-Kesombongan

Dimensi spiritual yang keempat adalah orientasi mencari kemuliaan hanya dari Allah dan sikap anti-kesombongan. Al-Ajurri secara tegas menyebutkan: “يَطْلُبُ الرِّفْعَةَ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا مِنَ الْمَخْلُوْقِينَ، مَاقِتًا لِلْكِبْرِ خَائِفًا عَلَى نَفْسِهِ مِنْهُ” (Mencari kemuliaan hanya dari Allah bukan dari makhluk, sangat membenci kesombongan dan khawatir kalau-kalau kesombongan bersarang dalam dirinya).

Karakteristik ini menunjukkan kesadaran yang mendalam bahwa sumber kemuliaan hakiki hanya dari Allah, sehingga seorang Ahlul Quran tidak akan terjebak dalam pencarian pengakuan dan pujian dari manusia. Sebaliknya, mereka justru memiliki kewaspadaan yang tinggi terhadap potensi kesombongan yang dapat merusak spiritualitas mereka.

Karakteristik kelima adalah pendekatan dalam membaca Al-Qur’an yang tidak hanya sebatas tilawah, tetapi juga pemahaman dan kontemplasi. Al-Ajurri menekankan: “إِذَا دَرَسَ الْقُرْآنَ فَبِحُضُورِ فَهُم وَعَقْلٍ. هِمَّتُهُ إِيقَاعُ الْفَهْمِ لِمَا أَلْزَمَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْ اتَّبَاعِ مَا أَمَرَ، وَالْإِنْتِهَاءِ عَمَّا نَهَى” (Jika mendaras Al-Qur’an, dia berusaha untuk memahami dan memikirkan dengan akal pikiran. Ambisinya adalah memahami apa-apa yang diwajibkan Allah kepadanya demi melaksanakan apa yang diperintah dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya).

Pendekatan ini menunjukkan bahwa interaksi dengan Al-Qur’an bukan hanya sebagai ritual, tetapi sebagai proses pembelajaran dan transformasi diri yang berkelanjutan. Al-Ajurri juga menegaskan bahwa orientasi membaca Al-Qur’an bukanlah “مَتَى أُخْتِمُ السُّورَةَ” (kapan aku mengkhatamkan surat ini), tetapi lebih kepada internalisasi nilai-nilai spiritual yang terkandung di dalamnya.

Dimensi spiritual yang keenam adalah ambisi spiritual yang tinggi yang termanifestasi dalam berbagai maqam spiritual. Al-Ajurri menggambarkan serangkaian pertanyaan reflektif yang menunjukkan ambisi spiritual seorang Ahlul Quran:

“مَتَى أَسْتَغْنِي بِاللَّهِ عَنْ غَيْرِهِ؟ مَتَى أَكُوْنُ مِنَ الْمُتَّقِينَ؟ مَتَى أَكُونُ مِنَ الْمُحْسِنِينَ؟ مَتَى أَكُوْنُ مِنَ الْمُتَوَكِّلِينَ؟ مَتَى أَكُوْنُ مِنَ الْخَاشِعِينَ؟ مَتَى أَكُوْنُ مِنَ الصَّابِرِينَ؟ مَتَى أَكُوْنُ مِنَ الصَّادِقِينَ؟ مَتَى أَكُوْنُ مِنَ الْخَائِفِينَ؟ مَتَى أَكُوْنُ مِنَ الرَّاجِيْنَ؟ مَتَى أَزْهَدُ فِي الدُّنْيَا؟ مَتَى أَرْغَبُ فِي الْآخِرَةِ؟ مَتَى أَتُوْبُ مِنَ الذُّنُوْبِ؟”

(Kapan aku mencukupkan diri dengan Allah bukan dengan selain-Nya? Kapan aku menjadi bagian dari orang-orang yang bertakwa? Kapan aku termasuk orang-orang yang berbuat ihsan? Kapan aku termasuk orang-orang yang bertawakal? Kapan aku termasuk orang-orang yang khusyuk? Kapan aku termasuk orang-orang yang sabar? Kapan aku termasuk orang-orang yang jujur? Kapan aku termasuk orang-orang yang takut kepada Allah? Dan kapan aku termasuk orang-orang yang penuh harap kepada Allah? Kapan aku bersikap zuhud terhadap dunia? Kapan aku mencintai akhirat? Kapan aku bertaubat dari segala dosa?)

Serangkaian pertanyaan ini menunjukkan bahwa seorang Ahlul Quran memiliki ambisi spiritual yang tidak terbatas pada pencapaian minimum dalam beribadah, tetapi terus berusaha mencapai maqam-maqam spiritual yang lebih tinggi.

Karakteristik terakhir dalam dimensi spiritual adalah penggunaan Al-Qur’an sebagai cermin untuk evaluasi diri. Al-Ajurri menggambarkan: “فَالْمُؤْمِنُ الْعَاقِلُ إِذَا تَلَا الْقُرْآنَ اسْتَعْرَضَ، فَكَانَ كَالْمِرْآةِ يَرَى بِهَا مَا حَسُنَ مِنْ فِعْلِهِ، وَمَا قَبُحَ فِيْهِ، فَمَا حَذَرَهُ مَوْلَاهُ حَذَرَهُ، وَمَا خَوَّفَهُ بِهِ مِنْ عِقَابِهِ خَافَهُ، وَمَا رَغَبَهُ فِيْهِ مَوْلَاهُ رَغِبَ فِيْهِ وَرَجَاهُ” (Seorang Mukmin yang berakal akan terus memeriksa keadaan dirinya saat membaca Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an layaknya cermin yang dengannya dia bisa melihat mana perbuatannya yang baik dan mana yang buruk. Jika Allah memperingatkan sesuatu, dia akan mewaspadainya. Jika Allah menakut-nakutinya dengan hukuman-Nya, dia akan takut kepada-Nya. Jika Allah memerintahkannya untuk mencintai sesuatu, dia akan mencintai dan mengharapkannya).

Konsep ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an bukan hanya sebagai sumber bacaan, tetapi sebagai instrumen evaluasi diri yang membantu seorang Ahlul Quran untuk terus melakukan koreksi dan perbaikan dalam perjalanan spiritualnya.

b. Dimensi Sosial (Hubungan dengan Manusia)

Dimensi sosial dalam konsep akhlak Ahlul Quran menurut Imam Al-Ajurri mencakup seluruh aspek hubungan horizontal dengan sesama manusia. Dimensi ini menunjukkan bahwa kesalehan individual tidak dapat dipisahkan dari kesalehan sosial.

1) Kepekaan Dakwah dan Perbaikan Masyarakat

Karakteristik pertama dalam dimensi sosial adalah kepekaan terhadap kondisi masyarakat dan komitmen untuk melakukan perbaikan. Al-Ajurri menggambarkan seorang Ahlul Quran sebagai sosok yang “memiliki kepekaan terhadap zamannya dan mengetahui kerusakan penduduknya, sehingga (dengan pengetahuannya itu) dia mengingatkan mereka untuk berpegang teguh kepada agamanya.”

Karakteristik ini menunjukkan bahwa seorang Ahlul Quran tidak hidup dalam isolasi spiritual, tetapi memiliki tanggung jawab sosial untuk berkontribusi dalam perbaikan masyarakat. Kepekaan ini bukan hanya dalam bentuk kritik, tetapi juga dalam bentuk solusi konstruktif yang didasarkan pada pemahaman yang mendalam terhadap ajaran agama.

2) Kehati-hatian Bertutur Kata

Dimensi sosial yang kedua adalah kehati-hatian dalam bertutur kata. Al-Ajurri menekankan pentingnya “menjaga lisan dan berhati-hati dalam tutur katanya.” Prinsip ini kemudian dijelaskan secara lebih rinci: “إِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِعِلْمٍ، إِذَا رَأَى الْكَلَامَ صَوَابًا. وَإِذَا سَكَتَ سَكَتَ بِعِلْمٍ، إِذَا كَانَ السُّكُوْتُ صَوَابًا” (Jika berbicara, bicaranya selalu dilandasi dengan ilmu, jika dia merasa berbicara itu perlu dan tepat. Jika diam, diamnya dengan ilmu, jika memang diam itu tepat dan benar).

Prinsip ini menunjukkan bahwa komunikasi seorang Ahlul Quran tidak hanya mempertimbangkan aspek kebenaran konten, tetapi juga timing dan konteks yang tepat. Baik berbicara maupun diam sama-sama memerlukan pertimbangan yang matang berdasarkan ilmu dan kebijaksanaan.

3) Menghindari Pembicaraan Tidak Bermanfaat

Karakteristik ketiga adalah menghindari pembicaraan yang tidak bermanfaat. Al-Ajurri menyebutkan: “قَلِيلَ الْخَوْضِ فِيْمَا لَا يَعْنِيْهِ، يَخَافُ مِنْ لِسَانِهِ أَشَدَّ مِمَّا يَخَافُ مِنْ عَدُوِّهِ، يَحْبِسُ لِسَانَهُ كَحَبْسِهِ لِعَدُوِّهِ، لِيَأْمَنَ مِنْ شَرِّهِ وَسُوءٍ عَاقِبَتِهِ” (Sedikit bicara dalam hal yang tidak bermanfaat, rasa takutnya terhadap lisan lebih dahsyat daripada ketakutannya terhadap musuh. Dia memenjarakan lisannya seperti memenjarakan musuhnya, demi menjaga dari kejelekan dan kerusakan yang diakibatkannya).

Ungkapan ini menunjukkan kesadaran yang tinggi terhadap potensi destruktif dari lisan yang tidak terkontrol. Seorang Ahlul Quran memiliki disiplin diri yang ketat dalam mengelola komunikasi, tidak hanya karena pertimbangan etika sosial, tetapi juga karena kesadaran spiritual tentang pertanggungjawaban di hadapan Allah.

4) Anti-Sanjungan Diri

Dimensi sosial yang keempat adalah sikap anti-sanjungan diri. Al-Ajurri menegaskan: “لَا يَمْدَحُ نَفْسَهُ بِمَا فِيْهِ، فَكَيْفَ بِمَا لَيْسَ فِيْهِ” (Dia tidak menyanjung diri sendiri lantaran kelebihan yang dimilikinya. Lantas bagaimana mungkin dia menyanjung dirinya dengan apa yang tidak dimilikinya?).

Sikap ini menunjukkan kerendahan hati yang mendalam dan kesadaran bahwa segala kelebihan yang dimiliki adalah karunia Allah yang tidak pantas untuk dipamerkan. Lebih dari itu, sikap ini juga mencerminkan kematangan emosional dalam berinteraksi sosial, di mana seseorang tidak memerlukan validasi eksternal untuk merasa berharga.

5) Tidak Merugikan/Menyakiti Orang Lain

Karakteristik kelima adalah komitmen untuk tidak merugikan atau menyakiti orang lain. Al-Ajurri menggambarkan ini dengan sangat komprehensif: “لَا يَغْتَابُ أَحَدًا، وَلَا يَحْقِرُ أَحَدًا، وَلَا يَسُبُّ أَحَدًا، وَلَا يَشْمَتُ بِمُصِيبَةٍ، وَلَا يَبْغِي عَلَى أَحَدٍ، وَلَا يَحْسِدُهُ، وَلَا يُسِيْءُ الظَّنَّ بِأَحَدٍ إِلَّا بِمَنْ يَسْتَحِقُ” (Dia tidak membicarakan aib seorang pun, tidak merendahkan seorang pun, tidak mencaci seorang pun, tidak gembira dengan musibah yang menimpa orang lain, tidak berbuat zhalim terhadap siapa pun, dan tidak mendengkinya, tidak buruk sangka kepada siapa pun kecuali kepada orang yang pantas menerimanya).

Deskripsi ini menunjukkan standar etika sosial yang sangat tinggi, di mana seorang Ahlul Quran tidak hanya menghindari tindakan yang secara langsung merugikan orang lain, tetapi juga sikap mental yang berpotensi menciptakan kerusakan dalam hubungan sosial.

Dimensi sosial yang keenam adalah penerapan ilmu dalam seluruh aspek hubungan sosial. Al-Ajurri menekankan: “يَحْسِدُ بِعِلْمٍ، وَيَظُنُّ بِعِلْمٍ، وَيَتَكَلَّمُ بِمَا فِي الْإِنْسَانِ مِنْ عَيْبٍ بِعِلْمٍ، وَيَسْكُتُ عَنْ حَقِيقَةِ مَا فِيْهِ بِعِلْمٍ” (Iri dengki dengan ilmu, berprasangka pun dengan ilmu, membicarakan aib yang ada pada diri seseorang pun dengan ilmu dan diam tidak berkomentar dengan apa yang sebenarnya ada pada diri seseorang juga dengan ilmu).

Prinsip ini menunjukkan bahwa bahkan emosi dan reaksi spontan seorang Ahlul Quran tetap terkontrol oleh ilmu dan kebijaksanaan. Mereka tidak bertindak berdasarkan impuls semata, tetapi selalu mempertimbangkan aspek syar’i dan maslahah dalam setiap respon sosial.

Karakteristik ketujuh adalah kemampuan merespons perlakuan buruk dengan bijaksana. Al-Ajurri menggambarkan: “وَلَا يَجْهَلُ، فَإِنْ جُهِلَ عَلَيْهِ حَلُمَ، وَلَا يَظْلِمُ، فَإِنْ ظُلِمَ عَفَى، وَلَا يَبْغِي، وَإِنْ بُغِيَ عَلَيْهِ صَبَرَ” (Dia tidak melakukan perbuatan jahil kepada seorang pun, jika dijahili maka dia bersabar dan bermurah hati. Tidak berbuat zhalim. Jika dizhalimi dia memaafkan. Tidak melampaui batas; jika diperlakukan hingga melampaui batas, dia bersabar).

Respons ini menunjukkan kematangan emosional dan spiritual yang luar biasa, di mana seorang Ahlul Quran tidak terjebak dalam siklus balas dendam, tetapi mampu memutus rantai negatif dengan respons positif yang didasarkan pada nilai-nilai spiritual.

Dimensi sosial yang kedelapan adalah sikap berbakti dan bijak dalam menghadapi orang tua. Al-Ajurri menggambarkan ini dengan sangat detail: “وَيُلْزِمُ نَفْسَهُ بِرَّ وَالِدَيْهِ، فَيَخْفِضُ لَهُمَا جَنَاحَهُ، وَيَخْفِضُ لِصَوْتِهِمَا صَوْتَهُ. وَيَبْذُلُ لَهُمَا مَالَهُ، وَيَنْظُرُ إِلَيْهِمَا بِعَيْنِ الْوَقَارِ وَالرَّحْمَةِ، يَدْعُو لَهُمَا بِالْبَقَاءِ، وَيَشْكُرُ لَهُمَا عِنْدَ الْكِبَرِ، لَا يَضْجَرُ بِهِمَا، وَلَا يَحْقِرُهُمَا” (Dia membiasakan diri untuk senantiasa berbakti kepada kedua orang tuanya. Merendahkan diri di hadapan kedua orang tuanya, juga merendahkan suara ketika kedua orang tuanya berbicara. Dia mendermakan harta yang dimilikinya untuk kedua orang tuanya. Memandang keduanya dengan pandangan mata yang penuh pemuliaan dan kasih sayang. Mendoakan keduanya agar senantiasa langgeng. Berterima kasih kepada keduanya ketika sudah tua, tidak membuatnya gelisah dan berkeluh kesah, dan tidak pula merendahkannya).

Namun, Al-Ajurri juga menunjukkan bahwa berbakti kepada orang tua tidak berarti ketaatan buta: “إِنِ اسْتَعَانَا بِهِ عَلَى طَاعَةٍ أَعَانَهُمَا، وَإِنِ اسْتَعَانَا بِهِ عَلَى مَعْصِيَّةٍ لَمْ يُعِنْهُمَا عَلَيْهَا. وَرَفَقَ بِهِمَا فِي مَعْصِيَّتِهِ إِيَّاهُمَا، يُحْسِنُ الْأَدَبَ لِيَرْجِعَا عَنْ قَبِيحِ مَا أَرَادَا، مِمَّا لَا يَحْسُنُ بِهِمَا فِعْلُهُ” (Jika keduanya meminta tolong kepadanya dalam ketaatan, maka dia menolong keduanya. Jika keduanya meminta tolong dalam kemaksiatan, maka dia tidak akan menolongnya dalam hal tersebut. Dia tetap bersikap lemah lembut kepada keduanya saat menolak permintaan mereka berdua untuk bermaksiat. Membalas dengan akhlak yang baik agar keduanya kembali dari kejelekan yang ingin dia lakukan dari hal-hal yang tidak baik untuk dilakukan oleh keduanya).

Salah satu karakteristik paling mendasar dalam dimensi sosial adalah komitmen yang kuat terhadap silaturahmi. Imam Al-Ajurri menjelaskan bahwa seorang Ahlul Quran “يَصِلُ الرَّحِمَ، وَيَكْرَهُ الْقَطِيعَةَ” (menyambung tali silaturrahim dan membenci pemutusan tali silaturrahim). Karakteristik ini menunjukkan bahwa penghafal Al-Qur’an memiliki komitmen yang mendalam terhadap nilai-nilai kebersamaan dan persaudaraan.

Yang menarik dari konsep ini adalah prinsip yang ditekankan bahwa “مَنْ قَطَعَهُ لَمْ يَقْطَعْهُ” (kalau ada orang yang memutuskan tali silaturrahim dengannya, maka dia tidak membalas dengan pemutusan hubungan). Prinsip ini mengindikasikan bahwa seorang Ahlul Quran tidak bersikap reaktif terhadap perlakuan negatif yang diterima, melainkan tetap menjaga inisiatif untuk memelihara hubungan baik. Hal ini mencerminkan kematangan emosional dan spiritual yang tinggi, dimana seseorang mampu melampaui ego pribadi demi menjaga nilai-nilai yang lebih tinggi.

Lebih jauh lagi, konsep “مَنْ عَصَى اللَّهَ فِيْهِ، أَطَاعَ اللَّهَ فِيهِ” (jika ada orang yang mendurhakai Allah dalam hal ini, maka dia tetap taat kepada Allah) menunjukkan bahwa pemeliharaan silaturahmi bukan sekadar strategi sosial, melainkan bentuk ketaatan kepada Allah yang tidak tergantung pada timbal balik dari pihak lain. Ini mengangkat dimensi sosial ke level spiritual yang lebih tinggi.

  1. Pergaulan dan Pengajaran yang Berkualitas

Dimensi sosial juga tercermin dalam kualitas pergaulan dan pengajaran yang dijalankan oleh Ahlul Quran. Imam Al-Ajurri menjelaskan bahwa “يَصْحَبُ الْمُؤْمِنِينَ بِعِلْمٍ، وَيُجَالِسُهُمْ بِعِلْمٍ، مَنْ صَحِبَهُ نَفَعَهُ، حَسَنُ الْمُجَالَسَةِ لِمَنْ جَالَسَ” (dia bersahabat dengan orang-orang Mukmin dengan landasan ilmu, bermajelis dengan mereka juga dilandasi ilmu, orang yang bersahabat dengannya akan mendapatkan manfaat darinya, menunjukkan akhlak yang baik dalam bermajelis).

Konsep ini menunjukkan bahwa pergaulan seorang Ahlul Quran tidak bersifat pasif atau sekadar mengikuti arus, melainkan aktif memberikan manfaat dan kontribusi positif. Setiap interaksi sosial dijadikan sebagai kesempatan untuk memberikan nilai tambah bagi orang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa seorang penghafal Al-Qur’an memiliki tanggung jawab sosial yang besar untuk menjadi agen perubahan positif dalam lingkungannya.

Dalam konteks pengajaran, karakteristik yang disebutkan adalah “إِنْ عَلَّمَ غَيْرَهُ رَفَقَ بِهِ، لَا يُعَنِّفُ مَنْ أَخْطَأَ وَلَا يُخْجِلُهُ، رَفَيْقُ فِي أُمُورِهِ، صَبُورٌ عَلَى تَعْلِيمِ الْخَيْرِ، يَأْنَسُ بِهِ الْمُتَعَلَّمُ، وَيَفْرَحُ بِهِ الْمُجَالِسُ، مُجَالَسَتُهُ تُفِيدُ خَيْرًا” (jika dia mengajar, dia bersikap lembut, tidak bersikap keras kepada orang yang berbuat salah, juga tidak mempermalukannya, ramah dalam setiap urusannya, sabar dalam mengajarkan kebaikan, lembut penuh kasih sayang kepada muridnya, dengannya orang yang bermajelis merasa senang, bermajelis bersamanya selalu mendatangkan kebaikan).

Karakteristik ini menunjukkan bahwa pengajaran yang dilakukan oleh Ahlul Quran tidak hanya fokus pada transfer pengetahuan, tetapi juga pada pembentukan karakter dan penciptaan atmosfer pembelajaran yang kondusif. Pendekatan yang lembut dan sabar mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang psikologi pembelajaran dan pentingnya menjaga dignity setiap individu.

  1. Konsistensi Adab dalam Interaksi Sosial

Aspek ketiga dari dimensi sosial adalah konsistensi dalam menerapkan adab Islam dalam setiap interaksi sosial. Imam Al-Ajurri menjelaskan bahwa seorang Ahlul Quran “مُؤَدِّبُ لِمَنْ جَالَسَهُ بِأَدَبِ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ” (senantiasa beradab dengan adab yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah kepada siapa saja yang bermajelis dengannya).

Konsistensi ini juga tercermin dalam berbagai aspek kehidupan sosial, seperti yang disebutkan: “يُجَاوِرُ جَارَهُ بِعِلْمٍ” (bergaul dengan tetangga dengan ilmu), “يَزُورُهُمْ بِعِلْمٍ، وَيَسْتَأْذِنُ عَلَيْهِمْ بِعِلْمٍ” (mengunjungi mereka dengan ilmu, dan meminta izin kepada mereka juga dengan ilmu).

Yang menarik adalah penekanan pada prinsip “لَا يَغْتَابُ أَحَدًا، وَلَا يَحْقِرُ أَحَدًا، وَلَا يَسُبُّ أَحَدًا، وَلَا يَشْمَتُ بِمُصِيبَةٍ، وَلَا يَبْغِي عَلَى أَحَدٍ، وَلَا يَحْسِدُهُ، وَلَا يُسِيْءُ الظَّنَّ بِأَحَدٍ إِلَّا بِمَنْ يَسْتَحِقُّ” (tidak membicarakan aib seorang pun, tidak merendahkan seorang pun, tidak mencaci seorang pun, tidak gembira dengan musibah yang menimpa orang lain, tidak berbuat zhalim terhadap siapa pun, dan tidak mendengkinya, tidak buruk sangka kepada siapa pun kecuali kepada orang yang pantas menerimanya).

Karakteristik ini menunjukkan bahwa seorang Ahlul Quran memiliki standar moral yang tinggi dalam berinteraksi sosial. Mereka tidak hanya menghindari perilaku negatif, tetapi secara aktif membangun atmosfer sosial yang positif dan konstruktif. Konsistensi ini mencerminkan integritas yang tinggi antara nilai-nilai yang dipahami dan perilaku yang ditampilkan.

c. Dimensi Personal (Pengelolaan Diri)

Dimensi personal dalam konsep akhlak Ahlul Quran menurut Imam Al-Ajurri menunjukkan bagaimana seorang penghafal Al-Qur’an mengelola diri pribadinya. Dimensi ini mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan kontrol diri, penjagaan anggota tubuh, dan pengelolaan kehidupan pribadi yang selaras dengan nilai-nilai Al-Qur’an.

  1. Kontrol Ekspresi Emosi (Tawa, Canda)

Salah satu aspek fundamental dalam pengelolaan diri adalah kontrol terhadap ekspresi emosi, khususnya dalam hal tawa dan canda. Imam Al-Ajurri menjelaskan bahwa seorang Ahlul Quran “قَلِيلَ الضَّحِكِ فِيمَا يَضْحَكُ فِيْهِ النَّاسُ، لِسُوءِ عَاقِبَةِ الضَّحِكِ” (sedikit tertawa dari apa yang ditertawakan oleh manusia, disebabkan jeleknya banyak tertawa).

Karakteristik ini tidak menunjukkan sifat yang kaku atau tidak berperasaan, melainkan menunjukkan selektivitas dan kearifan dalam mengekspresikan emosi. Hal ini diperjelas dengan pernyataan “إِنْ سُرَّ بِشَيْءٍ مِمَّا يُوَافِقُ الْحَقَّ تَبَسَّمَ” (jika ada sesuatu yang menggembirakan dari hal yang sesuai dengan kebenaran, maka dia tersenyum). Ini menunjukkan bahwa ekspresi kegembiraan tetap diperbolehkan selama sesuai dengan nilai-nilai kebenaran.

Mengenai canda, disebutkan bahwa “يَكْرَهُ الْمِزَاحَ خَوْفًا مِنَ اللَّعِبِ، فَإِنْ مَزَحَ قَالَ حَقًّا، بَاسِطَ الْوَجْهِ، طَيِّبَ الْكَلَامِ” (tidak suka bercanda, takut terjerembab dalam kesia-siaan, jika sedang berkelakar dia mengatakan hal yang benar dengan wajah berseri dan tutur kata yang baik). Karakteristik ini menunjukkan bahwa seorang Ahlul Quran memiliki kesadaran akan dampak jangka panjang dari setiap perkataan dan tindakan, sehingga mereka sangat selektif dalam menggunakan waktu dan energi.

Aspek kedua yang sangat penting adalah penjagaan seluruh anggota tubuh dari perbuatan dosa. Imam Al-Ajurri menjelaskan bahwa seorang Ahlul Quran “حَافِظًا لِجَمِيعِ جَوَارِحِهِ عَمَّا نُهِيَ عَنْهُ” (menjaga anggota badan dari hal-hal yang dilarang untuk melakukannya).

Penjagaan ini mencakup berbagai aspek yang sangat spesifik. Untuk lisan, disebutkan “مَجَافُ لِلِسَانِهِ وَبَاحِثُ عَنْ تَحْقِيقِ كَلَامِهِ” (menjaga lisan dan berhati-hati dalam tutur katanya), dan “يَخَافُ مِنْ لِسَانِهِ أَشَدَّ مِمَّا يَخَافُ مِنْ عَدُوِّهِ، يَحْبِسُ لِسَانَهُ كَحَبْسِهِ لِعَدُوِّهِ، لِيَأْمَنَ مِنْ شَرِّهِ وَسُوْءٍ عَاقِبَتِهِ” (rasa takutnya terhadap lisan lebih dahsyat daripada ketakutannya terhadap musuh, dia memenjarakan lisannya seperti memenjarakan musuhnya, demi menjaga dari kejelekan dan kerusakan yang diakibatkannya).

Untuk pandangan, disebutkan “مَتَى أَغُضُّ طَرْفِي؟” (kapan aku bisa menundukkan pandanganku?), dan untuk kemaluan disebutkan “مَتَى أَحْفَظُ فَرْجِيْ؟” (kapan aku bisa menjaga kemaluanku?). Karakteristik ini menunjukkan bahwa penjagaan anggota tubuh bukanlah sekadar pantangan eksternal, melainkan refleksi dari kesadaran spiritual yang mendalam tentang pertanggungjawaban setiap anggota tubuh di hadapan Allah.

Aspek ketiga yang sangat penting adalah pengendalian amarah dan kultivasi sikap tawadhu’. Imam Al-Ajurri menjelaskan bahwa seorang Ahlul Quran “وَلَا يَجْهَلُ، فَإِنْ جُهِلَ عَلَيْهِ حَلُمَ، وَلَا يَظْلِمُ، فَإِنْ ظُلِمَ عَفَى، وَلَا يَبْغِي، وَإِنْ بُغِيَ عَلَيْهِ صَبَرَ” (tidak melakukan perbuatan jahil kepada seorang pun, jika dijahili maka dia bersabar dan bermurah hati, tidak berbuat zhalim, jika dizhalimi dia memaafkan, tidak melampaui batas, jika diperlakukan hingga melampaui batas, dia bersabar).

Karakteristik ini diperkuat dengan pernyataan “يَكْظِمُ غَيْظَهُ لِيُرْضِيَ رَبَّهُ وَيَغِيظَ عَدُوَّهُ” (menahan amarahnya sehingga membuat Rabbnya ridha dan musuhnya menjadi bertambah dongkol). Ini menunjukkan bahwa pengendalian amarah bukan sekadar strategi psikologis, melainkan bentuk ibadah yang memiliki dimensi spiritual dan strategis.

Mengenai tawadhu’, disebutkan “مُتَوَاضِعُ فِي نَفْسِهِ، إِذَا قِيلَ لَهُ الْحَقُّ قَبِلَهُ، مِنْ صَغِيْرٍ أَوْ كَبِيرٍ” (berjiwa tawadhu’, jika dikatakan kepadanya suatu kebenaran, dia menerimanya, baik yang menyampaikan anak kecil ataupun orang tua), dan “لَا يَتَأَكَّلُ بِالْقُرْآنِ، وَلَا يُحِبُّ أَنْ تُقْضَى لَهُ بِهِ الْحَوَائِجُ” (tidak mencari makan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalkannya, tidak suka bila kebutuhan hidupnya dicukupi oleh manusia dengannya).

Aspek keempat yang sangat krusial adalah menghindari eksploitasi Al-Qur’an untuk kepentingan duniawi. Imam Al-Ajurri dengan tegas menyatakan bahwa seorang Ahlul Quran “لَا يَتَأَكَّلُ بِالْقُرْآنِ، وَلَا يُحِبُّ أَنْ تُقْضَى لَهُ بِهِ الْحَوَائِجُ، وَلَا يَسْعَى بِهِ إِلَى أَبْنَاءِ الْمُلُوكِ، وَلَا يُجَالِسُ بِهِ الْأَغْنِيَاءَ لِيُكْرِمُوهُ” (tidak mencari makan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang dihafalkannya, tidak suka bila kebutuhan hidupnya dicukupi oleh manusia dengannya, tidak menjadikannya sebagai alat untuk mendekat kepada anak-anak penguasa, dan tidak menjadikannya sebagai sarana untuk bisa duduk bersama orang-orang kaya agar mereka memuliakannya).

Karakteristik ini menunjukkan tingkat integritas yang sangat tinggi dalam menjaga kesucian Al-Qur’an dari eksploitasi material. Seorang Ahlul Quran memahami bahwa Al-Qur’an adalah amanah yang harus dijaga kemurniannya, bukan komoditas yang dapat diperdagangkan untuk keuntungan pribadi. Hal ini mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang hakikat Al-Qur’an sebagai petunjuk spiritual, bukan sekadar skill atau keahlian profesional.

Aspek kelima adalah kehati-hatian dalam mencari nafkah. Imam Al-Ajurri menjelaskan bahwa “إِنْ كَسَبَ النَّاسُ مِنَ الدُّنْيَا الْكَثِيرَ بِلَا فِقْهِ وَلَا بَصِيْرَةٍ، كَسَبَ هُوَ الْقَلِيلَ بِفِقْهِ وَعِلْمٍ” (jika kebanyakan orang mencari penghidupan dunia yang berlimpah tanpa peduli hukum fikih dan bashirah, maka dia mencari sedikit penghidupan dunia tetapi diiringi dengan memahami hukum fikih dan ilmu yang benar).

Karakteristik ini menunjukkan bahwa seorang Ahlul Quran memiliki prioritas yang jelas dalam mencari nafkah. Mereka tidak terjebak dalam orientasi materialistis yang mengutamakan kuantitas, melainkan memfokuskan pada kualitas dan kehalalan. Prinsip ini mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang konsep rezeki dalam Islam, dimana yang penting bukan seberapa banyak yang diperoleh, tetapi seberapa berkah dan halal rezeki tersebut.

Aspek terakhir dalam dimensi personal adalah kesederhanaan dalam pakaian dan gaya hidup. Imam Al-Ajurri menjelaskan bahwa “إِنْ لَبِسَ النَّاسُ اللَّيْنَ الْفَاخِرَ، لَبِسَ هُوَ مِنَ الْحَلَالِ مَا يَسْتُرُ عَوْرَتَهُ، إِنْ وُسْعَ عَلَيْهِ وَسَّعَ، وَإِنْ أُمْسِكَ عَلَيْهِ أَمْسَكَ، يَقْنَعُ بِالْقَلِيْلِ فَيَكْفِيهِ، وَيَحْذَرُ عَلَى نَفْسِهِ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُطْغِيْهِ” (ketika kebanyakan manusia memakai pakaian yang lembut dan mewah, dia memakai pakaian yang halal dan menutup auratnya, jika diberi kelapangan, maka dia menggunakannya, jika belum diberi kelapangan, maka dia menahan diri, qana’ah yang sedikit dan merasa cukup dengannya, menjaga diri dan waspada dari keduniaan yang bisa membuatnya melampaui batas).

Karakteristik ini menunjukkan bahwa kesederhanaan bukan sekadar pilihan ekonomis, melainkan filosofi hidup yang mencerminkan prioritas spiritual. Seorang Ahlul Quran memahami bahwa kemewahan berlebihan dapat menjadi penghalang dalam perjalanan spiritual, sehingga mereka secara sadar memilih gaya hidup yang sederhana dan fungsional.

d. Dimensi Intelektual (Pengamalan Berbasis Ilmu)

Dimensi intelektual dalam konsep akhlak Ahlul Quran perspektif Imam Al-Ajurri menunjukkan karakteristik yang sangat mendasar dan komprehensif. Analisis peneliti mengungkap bahwa dimensi ini tidak hanya berkutat pada aspek kognitif semata, melainkan mencakup implementasi ilmu dalam seluruh aspek kehidupan sebagai landasan fundamental bagi Ahlul Quran.

  1. Mengikuti Kewajiban Al-Qur’an dan Sunnah dengan Ilmu

Karakteristik pertama yang menonjol adalah komitmen total untuk mengikuti kewajiban Al-Qur’an dan Sunnah dengan landasan ilmu yang kokoh. Imam Al-Ajurri menekankan bahwa Ahlul Quran tidak pernah menunaikan kewajiban yang ditetapkan Allah dengan berdasarkan pada kebodohan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam teks:لَا يَرْضَى مِنْ نَفْسِهِ أَنْ يُؤَدِّيَ مَا فَرَضَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ بِجَهْلٍ”“Dirinya tidak rela menunaikan apa yang diwajibkan oleh Allah kepadanya berdasarkan kebodohan”

Peneliti menganalisis bahwa prinsip ini mengandung makna bahwa setiap kewajiban yang dilakukan oleh Ahlul Quran harus didasari oleh pemahaman yang benar. Mereka tidak cukup hanya dengan melakukan ritual atau kewajiban secara mekanis, tetapi memastikan bahwa setiap tindakan dilakukan dengan kesadaran penuh akan makna, tujuan, dan cara yang benar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah.

Lebih lanjut, Al-Ajurri menjelaskan bahwa Ahlul Quran telah menjadikan Al-Qur’an, Sunnah, dan fikih sebagai pedoman utama: قَدْ جَعَلَ الْقُرْآنَ وَالسُّنَّةَ وَالْفِقْهَ دَلِيلَهُ إِلَى كُلِّ خُلُقٍ حَسَنٍ جَمِيلٍ”“Sungguh dia telah menjadikan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan hukum Islam sebagai petunjuknya kepada setiap akhlak yang baik dan terpuji”. Peneliti melihat bahwa ini bukan hanya tentang mengikuti aturan, tetapi tentang transformasi hidup yang total berdasarkan pada pemahaman mendalam tentang kehendak Allah.

Dimensi intelektual Ahlul Quran juga ditandai dengan konsistensi luar biasa dalam menerapkan adab-adab Islam dalam setiap aspek kehidupan. Al-Ajurri menggambarkan bagaimana Ahlul Quran menerapkan ilmu dalam aktivitas sehari-hari:يَتَّبِعُ وَاجِبَاتِ الْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ، يَأْكُلُ الطَّعَامَ بِعِلْمٍ وَيَشْرَبُ بِعِلْمٍ، وَيَلْبَسُ بِعِلْمٍ وَيَنَامُ بِعِلْمٍ، وَيُجَامِعُ أَهْلَهُ بِعِلْمٍ”. “Dia senantiasa melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ada dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mengonsumsi makanan dengan ilmu, minum dengan ilmu, memakai pakaian dengan ilmu, dan tidur juga dengan ilmu. Dia menggauli istrinya dengan ilmu”

Peneliti menganalisis bahwa konsistensi ini menunjukkan totalitas dalam pengamalan ilmu. Tidak ada dikotomi antara ibadah formal dan aktivitas duniawi. Setiap tindakan, sekecil apapun, dilakukan dengan kesadaran akan adab-adab yang diajarkan Islam. Hal ini mencerminkan pemahaman bahwa hidup seorang muslim adalah satu kesatuan yang utuh, di mana setiap aspek kehidupan harus mencerminkan nilai-nilai Al-Qur’an dan Sunnah.

Konsistensi ini juga terlihat dalam komunikasi mereka. Al-Ajurri menjelaskan: إِنْ تَكَلَّمَ تَكَلَّمَ بِعِلْمٍ، إِذَا رَأَى الْكَلَامَ صَوَابًا. وَإِذَا سَكَتَ سَكَتَ بِعِلْمٍ، إِذَا كَانَ السُّكُوْتُ صَوَابًا”“Jika berbicara, bicaranya selalu dilandasi dengan ilmu, jika dia merasa berbicara itu perlu dan tepat. Jika diam, diamnya dengan ilmu, jika memang diam itu tepat dan benar”. Peneliti melihat bahwa ini menunjukkan kebijaksanaan dalam berkomunikasi, di mana setiap kata yang diucapkan atau pilihan untuk diam didasarkan pada pertimbangan ilmu yang matang.

Karakteristik ketiga yang menunjukkan dimensi intelektual adalah komitmen yang kuat terhadap pembelajaran berkelanjutan dan pengembangan diri. Imam Al-Ajurri menggambarkan bagaimana Ahlul Quran mendekati Al-Qur’an sebagai sumber pembelajaran:يَتَصَفَّحُ الْقُرْآنَ لِيُؤَدِّبَ بِهِ نَفْسَهُ… قَدْ جَعَلَ الْعِلْمَ وَالْفِقْهَ دَلِيْلَهُ إِلَى كُلِّ خَيْرٍ”.“Dia membaca Al-Qur’an lembar demi lembar untuk mendidik jiwanya… Karena dia telah menjadikan ilmu dan fikih sebagai penuntun menuju semua kebaikan”

Peneliti menganalisis bahwa pembelajaran bagi Ahlul Quran bukan sekadar aktivitas akademis, tetapi proses transformasi diri yang berkelanjutan. Mereka membaca Al-Qur’an dengan tujuan mendidik jiwa dan memperbaiki diri. Ini menunjukkan kesadaran bahwa ilmu yang benar adalah yang mampu mengubah perilaku dan karakter seseorang menjadi lebih baik.

Komitmen pembelajaran ini juga terlihat dalam cara mereka mendekati Al-Qur’an: إِذَا دَرَسَ الْقُرْآنَ فَبِحُضُورِ فَهُم وَعَقْلٍ. هِمَّتُهُ إِيقَاعُ الْفَهْمِ لِمَا أَلْزَمَهُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ”“Jika mendaras Al-Qur’an, dia berusaha untuk memahami dan memikirkan dengan akal pikiran. Ambisinya adalah memahami apa-apa yang diwajibkan Allah kepadanya”. Peneliti melihat bahwa ini bukan hanya tentang membaca teks, tetapi tentang engagement intelektual yang mendalam untuk memahami kehendak Allah.

Dimensi intelektual yang terakhir namun sangat penting adalah kesadaran mendalam tentang konsekuensi kelalaian. Al-Ajurri menggambarkan bagaimana Ahlul Quran memiliki kesadaran yang tajam tentang akibat kelalaian dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan reflektif yang menggugah:

مَتَى أَسْتَغْنِي بِاللَّهِ عَنْ غَيْرِهِ؟ مَتَى أَكُوْنُ مِنَ الْمُتَّقِينَ؟ مَتَى أَكُونُ مِنَ الْمُحْسِنِينَ؟”

“Kapan aku mencukupkan diri dengan Allah bukan dengan selain-Nya? Kapan aku menjadi bagian dari orang-orang yang bertakwa? Kapan aku termasuk orang-orang yang berbuat ihsan?”

Peneliti menganalisis bahwa kesadaran ini bukan berupa ketakutan yang melumpuhkan, tetapi motivasi yang mendorong untuk terus memperbaiki diri. Rangkaian pertanyaan reflektif ini menunjukkan bahwa Ahlul Quran memiliki kesadaran temporal yang kuat – mereka tidak hanya berpikir tentang kehidupan dunia, tetapi juga tentang kehidupan akhirat.

Al-Ajurri kemudian menjelaskan dengan detail tentang neraka dan penyesalan penghuninya: مَتَى أَحْذَرُ مَا حَذَرَنِي مِنْهُ رَبِّي مِنْ نَارٍ حَرُّهَا شَدِيدٌ، وَقَعْرُهَا بَعِيدُ، وَغَمُهَا طَوِيلٌ”. “Kapan aku waspada dan berhati-hati terhadap peringatan Rabbku dari: Neraka yang panasnya sangat dahsyat, jurangnya yang sangat dalam, kesengsaraannya yang begitu panjang”

Peneliti melihat bahwa kesadaran ini mencakup pemahaman mendalam tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan azab neraka dan penyesalan penghuninya. Al-Ajurri mengutip berbagai ayat yang menggambarkan penyesalan penghuni neraka: يَا لَيْتَنِي قَدَّمْتُ لِحَيَاتِي”“Alangkah baiknya sekiranya dahulu aku mengerjakan (amal shalih) untuk hidupku ini” (Al-Fajr: 24). رَبِّ ارْجِعُوْنِ. لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيْمَا تَرَكْتُ”“Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku beramal shalih terhadap yang telah aku tinggalkan” (Al-Mukminun: 99-100)

Kesadaran ini membuat Ahlul Quran menggunakan Al-Qur’an sebagai cermin untuk mengevaluasi diri: فَالْمُؤْمِنُ الْعَاقِلُ إِذَا تَلَا الْقُرْآنَ اسْتَعْرَضَ، فَكَانَ كَالْمِرْآةِ يَرَى بِهَا مَا حَسُنَ مِنْ فِعْلِهِ، وَمَا قَبُحَ فِيْهِ”“Seorang Mukmin yang berakal akan terus memeriksa keadaan dirinya saat membaca Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an layaknya cermin yang dengannya dia bisa melihat mana perbuatannya yang baik dan mana yang buruk”.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *